Cicero
|
|
Lahir
|
|
Meninggal
|
7 Desember 43 SM (usia 63)
Formia, Republik Romawi |
Pekerjaan
|
|
Kewarganegaraan
|
|
Tema
|
|
Angkatan
|
Era Keemasan Latin (the golden age of Latin)
|
Karya terkenal
|
Orasi:In Verrem,
In Catilinam I-IV, Philippicae
Filsafat:De Oratore, de Re Publica, de Legibus, de Finibus, de Natura Deorum, De Officiis |
Cicero atau Marcus
Tullius Cicero (di Inggris
dijuluki "Tully") (lahir 3 Januari 106 SM - meninggal 7 Desember 43
SM) adalah filsuf, orator
yang memiliki keterampilan handal dalam retorika, pengacara, penulis,
dan negarawanRomawi
kuno yang umumnya dianggap sebagai ahli pidato Latin
dan ahli gaya prosa.[1][2][3][4]
Cicero merupakan tokoh besar mazhab filsafatStoa
yang populer pada abad 4 SM (Sebelum Masehi) sampai abad 2 M (Masehi), dan ia
merupakan salah satu tokoh pada periode akhir yang lebih terkenal dengan
sebutan StoaRomawi.[5]
Selain itu, ia dan pemikirannya juga dianggap dekat dengan aliran Platonisme
dan Epikureanisme.[2]
Pemikirannya banyak dirujuk dalam pemikiran hukum dan tata negara,
serta pemikiran filsafat lainnya.[5]
Salah satunya adalah David
Hume pada abad 18.[5]
Karya dan pemikiran Cicero juga dikagumi oleh beberapa
Bapa
GerejaLatin yang berpengaruh
seperti SantoAgustinus dari Hippo,
yang mengatakan bahwa karyanya Hortensius
merupakan salah satu pendorong beralihnya ia kepada Kekristenan,[6]
dan St. Hieronimus
yang mengalami kegelisahan karena mendapat penglihatan bahwa ia dituduh sebagai
"pengikut Cicero dan bukannya Kristus"
saat pengadilan khusus.[7]
Cicero dikenal sebagai negarawan yang berusaha
menegakkan prinsip-prinsip republik
dalam perang sipil,
kegagalannya menyebabkan perang sipil yang menghancurkan Republik
Romawi.[3]
Tulisan-tulisannya meliputi retorika, pidato,
risalah filsafat
dan politik,
dan surat-surat.[3]
Hidup dan Karya
Cicero
Nama dan Keluarga
Nama "Cicero" diambil dari bahasa
Latin "cicer"
yaitu nama tanaman sejenis kacang polong yang kaya nutrisi.[8]
Nama tersebut dikenakan pada Cicero karena terdapat semacam penyok di ujung
hidungnya yang menyerupai buah kacang polong yang disebut cicer.[9]
Nama Cicero dianggap lebih terkenal daripada kota Scauri dan Catuli
sekalipun.[9]
Ketika ia menjadi kuestor
(pejabat publik di zaman Romawi Kuno yang mengurusi keuangan)[10] di
Sisilia,
ia membuat sebuah piring perak untuk dipersembahkan kepada para dewa,
yang berukirkan dua namanya, "Marcus" dan Tullius".[9]
Pada hari lahirnya, tanggal 3 bulan pertama (Januari), para hakim di Roma
melakukan doa bersama untuk mengenangnya.[9]
Ketika Cicero tinggal di Arpinum,
dekat Napoli,
ia memperistri seorang gadis bernama Terentia.[9]
Karena kekayaan warisan Terentia banyak sekali, Cicero dapat menjalani hidupnya
dengan baik.[9]
Bahkan ia membangun rumah di Bukit Palatium, tempat yang strategis untuk
bepergian.[9]
Latar Belakang dan
Pendidikan
Cicero muda sedang membaca, dilukis oleh Vincenzo
Foppa (fresko) tahun 1464
Cicero lahir di Arpinum (sekarang bernama Arpino),
sebuah kota yang berjarak ± 70 mil sebelah tenggara Roma, Italia.[2][11]
Ayah Cicero adalah seorang tuan tanah dan pejabat publik
Romawi.[2]
Oleh karena itu, Cicero dapat mengakses pendidikan di Roma,
yaitu di bawah bimbingan Marcus Licinius Crassus (seorang anggota senat atau
disebut Konsul
tahun 95 SM), salah satu orator terbaik kala itu.[2]
Sebagai seorang muda, Cicero langsung mendekatkan diri dengan aliran filsafat
besar yang berkembang waktu itu: Stoa, Epikureanisme,
dan para filsuf dari Akademi.[12]
Dia belajar filsafat di bawah Epikurean Phaedrus (140-70 SM); belajar Stoa dari
Diodotus tokoh Stoa yang buta di Roma († 60 SM) dan dari Phillo dari Larissa
(160-80 SM yang merupakan ketua Akademi.[2]
Mulai tahun 79-77 SM, ia mengunjungi Yunani untuk belajar
retorika dan filsafat kepada Posidonius di
Rhodes,
juga belajar di Akademi di bawah Antiochus dari Ascalon di Athena.[4]
Jadi, Cicero belajar dari empat aliran filsafat yang ada pada waktu itu.[4]
Cicero mampu mengkombinasikan ambisi filsafat retorika
gaya Romawi dengan gaya Yunani.[12]
Cicero kemudian belajar sembari melakukan banyak sekali aktivitas politik,
hingga pada tahun 45 SM pada usianya yang ke-60, filsafatnya benar-benar
mencapai keluasan dan puncak kematangan.[5][12]
Dengan pendampingan sepupunya, Quintus Mucius Ascaevola, sang pontifex (imam)
yang pernah menjadi konsul
tahun 117 SM, Cicero bertumbuh menjadi seorang yang menaruh hormat kepada
konservatisme nilai-nilai moderat dalam politik.[2]
Karier Politik
Cicero Denounces Catiline
(Cicero mencela Catilina), (fresko) dilukis oleh Cesare Maccari, 1882–88
Cicero remaja pertama kali bekerja sebagai auditor
Phillo di Akademi.[9]
Karena bakat dan karakter Cicero yang baik, ia kemudian diminati oleh sekolah
Mucii, sebuah tempat yang melahirkan banyak negarawan dan pemimpin yang duduk
di senat.[9] Di
sana ia belajar hukum.[9]
Kemudian ia menjadi tentara di bawah Sulla dalam Perang Marsi.[9]
Pada tahun 89-82 SM, Cicero menjadi tentara di bawah Pompeius Strabo (ayah dari
Pompeius)
dan menunjukkan kemampuannya di pengadilan dalam pembelaannya untuk Quintius
(81 SM).[4]
Disusul dengan kesuksesannya dalam pembelaannya kepada Sextus Roscius yang
terkait tuduhan pembunuhan keluarga (80 atau awal 79 SM), kemampuan Cicero
semakin dipercaya oleh publik, terutama dalam bidang hukum.[4] Ia
kemudian bekerja sebagai petugas pemerintahan (kuestor) yang berkantor di Sisilia
Barat.[4]
Kemudian Cicero berganti tugas menjadi pretor.[4]
Sebagai pretor
(satu tingkat di bawah konsul),
Cicero menyuarakan pidato
politiknya pertama kali pada tahun 66 SM dalam rangka melawan Catullus
dan kepemimpinan Optimates yang merupakan orang konservatif di dewan senat
Romawi, ia berunding dengan perintah Pompeius dalam rangka melawan Mithradates,
raja Pontus.[4]
Kedekatan Cicero dengan Pompeius menimbulkan kebencian Marcus Licinius Crassus,
namun justru menjadikannya semakin populer sehingga pada tahun 63 SM ia
diangkat sebagai konsul.[4]
Sebagai konsul, prestasi Cicero semakin melejit karena
prestasinya menggagalkan komplotan Lucius Sergius Catilina yang melakukan
konspirasi menggulingkan Republik Romawi dengan maksud menggantinya dengan
sistem aristokrasi.[1][13]
Setelah Julius
Caesar meninggal pada tahun 44 SM, Cicero memihak Octavianus
melawan Antonius
dengan pidato-pidatonya yang tajam, antara lain "Phillipacea".[1]
Setelah terbentuk sebuah pemerintahan dengan tiga orang kuat (Julius Caesar,
Pompeius, dan Crassus) di dalamnya yang dijuluki triumvirs[14], pemerintahan
Romawi cenderung mengarah pada perebutan kekuasaan antar-pribadi.[2]
Cicero sendiri lebih dekat kepada Pompeius karena persahabatan dan kesamaan
prinsip dalam menegakkan gagasan sistem republik. Meski demikian, Cicero
mencoba menengahi perseteruan antara ketiga orang tersebut, terutama antara
pihak Pompeius dan Caesar yang sering berselisih dengan Crassus. Kemudian, setelah
Pompeius meninggal pada tahun 48 SM, Cicero kemudian menentang cara
pemerintahan Caesar yang cenderung tirani.[2]
Cicero pergi ke RomaItalia
dengan pengampunan Caesar karena tindakan perlawanannya.[2]
Cicero tetap berpegang pada prinsip moral untuk tidak mendukung tirani.[2]
Oleh karena itu Cicero memilih jalan menulis secara dialogis terhadap diri
sendiri yang gelisah untuk menunjukkan keteguhan sikapnya.[2]
Secara sistem, Cicero tidak dapat menyumbangkan ide-idenya kepada Romawi karena
Caesar menduduki tahta 10 tahun berikutnya.[2]
Walau demikian Cicero terus menulis dan berorasi dalam rangka mengecam
pemerintah.[2]
Setelah terbunuhnya Caesar pada tanggal 17 Maret 44 SM dalam sebuah konspirasi
yang tidak melibatkan Cicero, Cicero kembali aktif dalam politik.[4]
Hingga pada tahun 43, ketika Cicero berselisih dengan koalisi antara Markus
Aemilius Lepidus dan Antonius, Cicero akhirnya dituntut untuk dibunuh dengan
cara dipenggal.[1]
Walapun Cicero melarikan diri, namun tetap berhasil dibunuh dalam pelariannya.[1][4]
Menjadi tradisi, yang salah satunya diceritakan oleh Plutarkos,
Cicero meninggal secara heroik.[2]
Karya-karya Cicero
Cicero merupakan pembaru bahasa
Latin terbesar di zamannya.[1]
Karya filsafatnya sangat terkenal dan berpengaruh, di antaranya adalah yang
tertuang dalam pidato-pidatonya yang berjumlah 57 tulisan, selain 17 fragmen
lain.[1]
Kemudian karya-karya filsafat, retorika, dan surat-surat tercatat berjumlah ±
800 buah dan tersimpan baik hingga saat ini.[1][15]
Pada sumber lain tercatat bahwa pada Juli 43 SM, lebih dari 900 tulisan
diselamatkan, 835 ditulis oleh Cicero sendiri, 416 dialamatkan kepada
sahabatnya, seorang ksatria
bernama Pomponius Atticus, dan 419 kepada 94 orang lain, baik kerabat maupun
kenalannya.[4]
Beberapa surat tidak dapat dilacak, salah satunya suratnya kepada Pompeius
yang disebutkan dalam Pro Sulla dan Pro Plancio yang merupakan
surat berisi konspirasi Lucius Sergius Catilina.[4]
Kemudian, terdapat juga empat koleksi surat-surat Cicero yang dialamatkan
kepada Atticus dalam 16 buku, kepada kenalan dan saudaranya yang berjumlah 16
buku, kepada Brutus yang berjumlah 3
buku, dan kepada saudaranya berjudul Ad Quintum Fratem.[4]
Selain karya-karya tentang filsafat dan tulisan yang
terkait politik, sebagai penyair,
Cicero diketahui menerbitkan puisi-puisi
berbahasa Latin, di antaranya adalah: epos
berjudul de Consulatu Suo (Inggris: On His Consulship) dan de
Temproribus Suis (Inggris: On His Life and Times), yang merupakan
tulisan yang dipakainya untuk mengkritik kekunoan tradisi penyembahan
masyarakat Romawi pada zamannya.[4]
Cicero sendiri menolak untuk disebut sebagai salah satu tokoh dari salah satu
aliran-aliran seni kala itu, entah sebagai seniman dalam kelompok orang-orang
Asia yang rata-rata kaya dan tampil secara berlebihan, atau kelompok yang
diwakili oleh Quintus Hortensius, maupun mereka yang menyebut diri sebagai Atticist,
misalnya Julius
Caesar dan Brutus.[4]
Adapun karya bergenre humor
yang ditulis Cicero yang memuat prinsip-prinsip Stoanya berjudul Pro
Murena, yang merupakan sebuah karya yang mendiskreditkan Cato yang berpihak
kepada para pengacara yang menyerang Clodia.[4]
Karya tersebut termuat dalam pidato berjudul Pro Caelio yang dibawakan Cicero
pada 4 April 56 SM.[4][16]
Pemikiran Cicero
Cicero sebagai Filsuf
Cicero menyebut dirinya seorang filsuf
dari Akademi (Platonis).[4]
Namun hal tersebut diragukan oleh banyak pihak terkait karya-karyanya yang
kontradiktif dan tidak murni.[4]
Dalam hal etika,
Cicero cenderung memakai prinsip dogmatisStoa
yang sangat dipengaruhi Socrates.[4]
Dalam beragama, Cicero dapat dikatakan nyaris agnostik, walaupun dia
memiliki pengalaman religius mendalam, yaitu ketika ia berkunjung ke Eleusis,
pada saat kematian saudarinya, Tullia pada tahun 45 SM.[4]
Sebagai penulis, ia memosisikan diri sebagai seorang ateis,
kecuali dalam karyanya yang berjudul Somnium Scipionis (mimpi-mimpi
Scipio) berisi luapan perasaan religius, tepatnya terdapat pada bagian akhir de
Republica.[4]
Sebagai seorang filsuf, Cicero mulai serius
menulis karya-karya filsafatnya
pada tahun 54 SM.[4]
Karya awalnya berjudul de Republica dan diikuti de Legibus pada
tahun 52 SM.[4]
Tulisan tersebut berisi tafsiran tentang sejarah Romawi yang diteropong
dengan sudut pandang teori politikYunani.[4]
Dalam kondisi politik yang carut-marut dan yang membuat setiap orang menderita,
yaitu ketika perang sipil
terjadi, perang yang juga merenggut nyawa saudari tercintanya[4]),
Cicero mencurahkan seluruh energinya demi menghibur diri atas duka dengan
aktivitas menulis secara radikal.[12]
Banyak karya yang ia selesaikan selama dua tahun masa kehilangan tersebut, di
antaranya ialah:[12]
- de Academia;
- de Fibinus;
- de Tusculan Disputations;
- de Natura Deorum;
- de Divinatione;
- de Fato;
- de Officiis; dan
- de Amicitia.
Kecuali karyanya yang berjudul de Officiis,
Cicero tidak pernah mengklaim bahwa tulisan-tulisannya merupakan tulisan
otentik dari dirinya, dalam suratnya kepada Atticus, ia mengatakan,
"Karya-karyaku merupakan transkrip, aku secara sederhana hanya menyumbang
kata-kata, dan aku mencukupkan diri dengan hal itu".[4]
Tujuan Cicero adalah menyediakan ensiklopedifilsafat
bagi Romawi, negara yang ia cintai.[4]
Bentuk yang ia pakai merupakan dialog dengan gaya yang lebih dekat kepada Aristoteles
daripada Plato.[4]
Secara personal, Cicero adalah orang yang sangat
cerdas dalam bernalar,
bahkan mampu memakai peristiwa-peristiwa dalam hidupnya sebagai pemacu
karya-karya filsafatnya.[12]
Bukan hanya alasan personal yang membuat ia merampungkan sejumlah karya, namun
kutipan dari de Natura berikut memperlihatkan keprihatinannya yang lain[12],
Tidak ada komentar:
Posting Komentar