Tahafut al-Falasifah dan Kerancuan Filsafat Al-Ghazali
(Membongkar Fitnah Teuku Zulkhairi)
Sebelum terjadi
tsunami, Aceh adalah wilayah yang sangat sepi dari debat-debat intelektual.
Perkembangan intelektual di Aceh begitu kering dan nyaris tanpa dinamika,
kelompok diskusi hampir tidak bisa ditemukan sama sekali.
Tapi pasca tsunami semua berubah total. Aceh yang selama ini oleh pemerintah RI ditutup dengan ketat dari pengaruh luar, tiba-tiba menjadi terbuka, Aceh tiba-tiba dibanjiri berbagai ide dan gagasan. Sehingga dunia intelektual di Aceh yang sebelumnya statis tanpa perkembangan tiba-tiba berubah menjadi dinamis. Aceh tiba-tiba berubah menjadi kuali besar pertarungan gagasan.
Dulu, sebelum terjadi tsunami, di Aceh, saya akan terlihat seperti orang aneh jika berbicara tentang masalah-masalah ilmu sosial, semacam psikologi antropologi sampai filsafat. Tapi pasca tsunami, ada banyak sekali pemikiran yang berkembang, mulai yang kekiri-kirian, liberal, moderat sampai yang fundamentalis dan cenderung radikal muncul bersamaan.
Suasana ini benar-benar sangat menggairahkan, apalagi kemudian teknologi informasi yang berkembang begitu pesat dalam tahun-tahun belakangan ini membuat setiap gagasan apapun yang ada di kepala menjadi begitu mudah untuk dilemparkan ke publik untuk kemudian diperdebatkan.
Beberapa bulan yang lalu, saya pernah melemparkan sebuah gagasan di facebook untuk dijadikan bahan diskusi dan perdebatan. Saat itu saya menyinggung tentang sebuah Karya seorang tokoh besar Islam bernama Al-Ghazali yang berjudul Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Filsafat) yang dibantah oleh Ibnu Rushd, tokoh besar lain yang lahir sesudah Al-Ghazali tiada. Karya Ibnu Rushd yang merupakan bantahan terhadap karya Al-Ghazali tersebut oleh Ibnu Rushd diberi judul Tahafut Al Tahafut (Kerancuan di atas Kerancuan).
Dalam debat antara kedua tokoh ini, saya dengan tegas memposisikan diri ada di kubu Ibnu Rushd.
Masalahnya, Al-Ghazali adalah tokoh pujaan kaum puritan, sehingga pilihan saya berada di kubu Ibnu Rushd membuat kelompok ini tidak senang. Dan dari semua aliran pemikiran dan gagasan yang muncul di Aceh pasca tsunami, kaum puritan ini adalah yang paling aneh. Jika kelompok lain antusias ketika diajak beradu gagasan, maka kelompok ini tidak. Mereka ingin gagasan apapun yang berkembang di Aceh, harus ada dalam jalur yang telah mereka gariskan secara sepihak.
Begitulah, ketika gagasan ini saya lemparkan, dengan segera saya pun mendapat serangan. Di antara beberapa orang kelompok puritan yang menyerang saya ini ada satu orang yang sangat bersemangat menyerang saya, namanya Teuku Zulkhairi. Tapi sayangnya semangat Teuku Zulkhairi saat menyerang saya ini tidak didukung oleh kecerdasan, wawasan dan penguasaan data yang memadai, sehingga serangannya terhadap saya pun pada akhirnya bukan lagi pada gagasan tapi lebih mengarah kepada pribadi (Ad Hominem), yang dengan hati saya layani sampai membuatnya terkaing-kaing lari.
Pilihan saya mendukung Ibnu Rushd ditambah dengan beberapa debat lain dengan saya yang tidak pernah bisa dia menangkan, membuat Teuku Zulkhairi memaki-maki dan menyebut saya sebagai kaum pengacau keimanan.
Dalam banyak pertemuan dengannya di dunia maya, dia begitu sering mempersalahkan saya saat saya mengkritisi Tahafut al-Falasifah karangan Al-Ghazali, yang selalu saya jawab dengan mempersilahkannnya mengambil argumen dari Tahafut al-Falasifah yang nanti akan saya balas dengan mengambil argumen dari Tahafut Al Tahafut.
Tapi Teuku Zulkhairi terus mengelak dari tantangan saya dengan berbagai alasan yang dibuat-buat, sambil terus melecehkan ucapan saya yang mengatakan akan mengambil argumen dari Tahafut Al Tahafut.
"Kerancuan di atas Kerancuan" yang merupakan terjemahan tulisan Ibnu Rushd ini dalam bahasa Indonesia, terus menerus digunakan oleh Teuku Zulkhairi untuk melecehkan gagasan saya, yang berpuncak pada keluarnya fitnah yang yang dia tulis diam-diam di Kompasiana dengan judul " Membongkar Kerancuan Di Atas Kerancuan Pemikiran Win Wan Nur" yang penuh dengan berbagai fakta yang dia rekayasa untuk menyudutkan saya baca : http://filsafat.kompasiana.com/2010/03/20/membongkar-%E2%80%9Ckerancuan-di-atas-kerancuan%E2%80%9D-pemikiran-win-wan-nur-oleh-teuku-zulkhairibersambung/
Karena itu, supaya masalah ini tidak berlarut-larut karena saya terus menunggu ditanggapinya tantangan saya, kali ini saya memilih untuk langsung menjawab pertanyaan Teuku Zulkhari kepada saya tentang bagaimana sebenarnya pandangan saya pribadi terhadap Al-Ghazali dan Tahafut al-Falasifah karangan tokoh besar Islam ini.
Untuk menjawab pertanyaan Teuku Zulkhairi tentang bagaimana saya menilai Imam Ghazali.
Saya harus terlebih dahulu menjelaskan, kalau soal sosok Al-Ghazali ini, sangatlah tidak mungkin saya membuat sebuah kesimpulan tunggal, karena cara pandang dan pemikiran tokoh ini banyak berevolusi sepanjang masa hidupnya. Dalam menilai ide-ide dalam karya Al-Ghazali, penilaian yang bisa kita lakukan sangat tergantung pada kapan karyanya tersebut dikeluarkan dan sudah sejauh apa evolusi spiritual yang dia alami saat karya itu ditulis. Sebab Abu-Hamid Muhammad Al-Ghazali yang lahir pada 450 H /1058 M dan wafat pada 505/1111 M ini adalah seorang manusia multi dimensi, dia adalah seorang Asy‘ariah ketika sedang ada bersama kaum Asy‘ariah, dia adalah seorang Sufi ketika bergabung dengan kaum Sufi, dan diapun adalah seorang filsuf ketika berada bersama para filsuf.
Jadi kalau kita ingin menilai pribadi tokoh yang satu ini secara komprehensif, maka akan ada banyak sekali dimensi yang harus disatukan, dan karena alasan inilah saya sama sekali tidak tertarik untuk menjadi seorang penilai terhadap pribadi tokoh besar Islam yang satu ini.
***
Dunia Islam di masa Al-Ghazali hidup, beberapa generasi sebelum kelahirannya dan beberapa generasi sesudah kematiannya adalah dunia intelektual yang penuh dinamika. Ada banyak sekali ragam isu yang diperdebatkan antara sesama cendekia zaman itu. Entah itu ilmu kedokteran, kimia, fisika, matematika, astronomi, psikologi, tasawuf, tauhid dan segala macam ilmu yang kita kenal sekarang.
Tapi dari sekian banyak pemikiran tokoh-tokoh Islam pada masa abad pertengahan ini, terus terang minat terbesar saya lebih banyak tertuju pada bidang filsafat yang mereka kembangkan pada masa itu. Saya menaruh minat besar pada bidang ini karena dalam pandangan saya, kesalahan pengambilan pilihan pemikiran filsafat untuk dianut oleh umat Islam pada masa inilah yang menjadi kunci penyebab kemunduran peradaban Islam sampai hari ini.
Maka ketika saya berbicara tentang Al-Ghazali, fokus pembicaraan saya adalah pada PEMIKIRANNYA dalam kapasitasnya sebagai FILSUF, bukan pemikiran atau sosoknya sebagai seorang Asy'ariah (meskipun tentu saja akan tetap ada bagian Asy'ariah Ghazali yang akan saya singgung karena pandangan filsafat Al Ghazali memang tidak bisa dilepaskan dari cara pandang khas kaum Asy'ariah) atau sosoknya sebagai seorang Sufi (yang sangat diminati oleh musisi Ahmad Dhani).
Kehadiran Al-Ghazali sebagai FILSUF adalah sebagai antitesis untuk aliran Mu‘tazilah, yang merupakan aliran kritis pertama dalam Islam yang lahir kira-kira pada tahun 723 Masehi (orang-orang penganut paham ini disebut Mutakalimun).
Filsafat kaum Mu'tazillah ini banyak dipengaruhi oleh filsafat yunani kuno dari tokoh-tokoh semacam Plato dan terutama Aristoteles.
Seperti yang saya katakan di atas, Al-Ghazali adalah pengikut aliran kritis yang lain bernama Asy‘ariah yang muncul kira-kira satu generasi setelah kemunculan Mu'tazillah. Aliran ini dinamai demikian dengan mengambil nama Al Asy‘ari, tokoh yang lahir pada tahun 873 masehi.
Asy'ariyah ini adalah aliran kritis yang mencoba berada di tengah-tengah antara pandangan tradisional yang yang maunya melarang penggunaan segala hal yang berbau rasional dalam memahami agama (seperti paham Salafi dan wahabi yang marak belakangan ini) dengan pikiran rasional. Aliran Asy'ariah ini terkenal dengan konsepnya yang mengatakan bahwa akal tanpa dibantu dengan wahyu tidak akan bisa menjelaskan kebenaran yang sesungguhnya.
Nah ketika Al-Ghazali menghantam filsafat kaum Mu'tazillah, Al-Ghazali bersandar pada cara pandang kaum Asy'ariyah ini.
Sebagaimana filsafat Mu'tazillah yang banyak bersintesa dengan alam pikiran Yunani, konsep Asy'ariah yang diadopsi oleh Al Ghazali sendiripun sebenarnya tidak bisa melepaskan argumennya dari pengaruh pemikiran para filsuf Yunani dari kelompok Skeptis dan terutama dari aliran filsafat Stoisisme-nya Zeno dari Citium (334-262 SM) [dalam sejarah sekolah filsfat Stoi (baca : STOA) ada dua Zeno, selain Zeno dari Citium ada lagi Zeno dari Tarsus yang merupakan pemimpin keempat sekolah filsafat Stoi yang hidup sekitar tahun 200 SM] .
Dari aliran filsafat Stoisme ini, aliran Ays'ariyah yang dianut oleh Al-Ghazali mengadopsi epistemologi, sensasionalisme, nominalisme dan materialisme mereka.
Contoh besarnya pengaruh filsafat Stoi dalam cara pandang aliran ini adalah konsep Asy'ariah tentang kehendak Allah.
Dalam Tahafut al-Falasifa, halaman. hal 237, Al-Ghazali mengatakan "Manusia tidak (bisa dikatakan) baik atau jahat karena pembawaan, meskipun pada dasarnya manusia itu lebih cenderung menjadi baik ketimbang menjadi jahat". Ucapan Ghazali ini merujuk pada pandangan Asy'ariah yang mempercayai bahwa benar dan salah adalah urusan manusia yang tidak bisa disangkut pautkan dengan Tuhan.
Pandangan Asy'ariah ini jelas sangat dipengaruhi oleh aliran filsafat Stoisisme (Aliran filsafat yang pada masanya menentang habis ajaran aliran filsafat Epicurus yang menyatakan Hedonisme yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan utama hidup).
Apa yang dikatakan oleh Al Ghazali yang didasari oleh konsep Asy'ariah ini kurang lebih sama dengan "Cui mali nihil est nec esse potest quid huic opus est dilectu bonorum et malorum?" yang artinya kurang lebih "Pilihan apa yang bisa membantu seseorang (berbuat jahat) bagi orang yang tidak memiliki sifat jahat dan juga tidak dimiliki (oleh sifat-sifat jahat itu)" yang merupakan argumen Skeptis dari Carneades yang pernah menjadi mahasiswa di sekolah filsafat Stoi, yang belajar logika di bawah bimbingan Diogenes (Kepala sekolaf filsafat Stoi ke-lima yang hidup sekitar tahun 230-150 SM). Perkataan Carneades ini disampaikan oleh Cicero dalam De natura deorum, iii. 15. 38.
Beberapa detail epistemologi khas Stoi ini misalnya disampaikan oleh Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din Ihya’ dimana Al-Ghazali mengatakan, Jiwa saat lahir adalah putih seperti kertas dan disanalah sifat dicetak (ini yang menjadi dasar konsep tabula rasa) , kemudian Al-Ghazali juga mengatakan manusia memperoleh akan dan pengetahuan tentang baik dan benar pada umur 7 tahun (ini kemudian menjadi dasar anggapan dan cara pandang terhadap anak-anak selama ini yang belakangan oleh Jean Piaget, Erik H Eriksson dan para psikolog perkembangan lainnya telah dibuktikan salah, karena ternyata bayi sudah punya sifat dan karakter sejak masih di dalam perut)
Belakangan, oleh pengikutnya, apa yang dimaksud oleh Al-Ghazali sebagai Kehendak Allah yang menjadi rahasiaNya yang tidak bisa ditimbang dengan perhitungan-perhitungan yang berdasarkan akal itu juga termasuk hal-hal semacam jenis kelamin bayi di dalam perut, apakah hujan akan turun atau tidak di saat mendung. Konsep tauhid semacam ini yang merupakan warisan pemikiran Al-Ghazali tersebut masih sering diajarkan kepada saya oleh guru-guru ngaji saya semasa kecil di Takengen.
Pandangan Al-Ghazali yang semacam inilah yang ditentang oleh Ibnu Rushd dalam Tahafut Al Tahafut, yang salah satu diantaranya seperti contoh yang saya ambil dari ucapan Ibnu Rushd mengatakan ; Seluruh basis argumen Al-Ghazali salah, karena Al-Ghazali berasumsi bahwa kehendak Allah itu sama seperti kehendak manusia. Padahal Nafsu dan kehendak hanya bisa dimengerti oleh makhluk yang memiliki kebutuhan; Sementara untuk Zat yang Maha Sempurna yang tidak membutuhkan apa-apa, kita tidak memiliki pilihan lain selain mengatakan bahwa ketiak Dia melakukan sesuatu maka yang Dia lakukan itu adalah hal yang paling sempurna. Jadi kehendak Allah harus dipahami dengan makna yang lain dibanding kehendak manusia.
Ketika kemudian ucapan Ibnu Rushd ini saya post di status facebook saya, membuat kaum puritan radikal yang dimotori oleh Teuku Zulkhairi menuduh saya sebagai kaum pengacau keimanan dan berbagai sebutan buruk lainnya.
Jadi ketika Zulkhairi menanyakan bagaimana saya memandang Al-Ghazali, kalau dipandang dari sudut pandang ini, maka saya memandang Al-Ghazali sebagai tokoh yang berperan besar dalam mempertentangkan antara Iman dan Akal. Dan berkat Al-Ghazali, dalam pertarungan ini Iman lah yang menang. Sehingga merusak semua semangat eksplorasi dan penggalian ilmu pengetahuan yang pada masa itu begitu menggairahkan.
Meneruskan apa yang sudah dilakukan oleh gurunya, Ibnu Thufayl dalam novel eksperimental pemikiran Hayy Ibn Yaqzan (dalam novel ini Ibnu Thufayl tampaknya sepakat dengan konsep Ghazali soal tabula rasa), Ibnu Rushd yang hadir belakangan mencoba untuk memperbaiki apa yang telah dirusak oleh Al-Ghazali ini, tapi usahanya tidak berhasil.
Oleh para pengikut Al-Ghazali, Ibnu Rushd malah dicap sesat, dimaki dituduh dan difitnah dengan berbagai dakwaan. Oleh orang-orang ini Ibnu Rushd dituduh sebagai pengacau keimanan dengan menyebarkan ilmu-ilmu Yunani. Rakyat Cordoba yang termakan fitnah kelompok ini mengejek dan menghina Ibnu Rushd dengan berbagai kalimat buruk dan tuduhan yang tidak berdasar.
Pernah satu kali, ketika Ibnu Rushd melaksanakan shalat Ashar bersama sahabatnya, dia diejek dan diusir dari masjid Cordoba. Masyarakat membakar karya-karyanya. Dan pada puncaknya, Khalifah al-Mansur yang menjadi penguasa di Cordoba waktu itu, sepakat dengan tuduhan masyarakat ini dan kemudian menghukum Ibnu Rushd. Sebagai hukuman atas "kesalahannya" Khalifah al-Mansur memerintahkan Ibnu Rushd untuk dibuang ke perkampungan Yahudi "Lucena".
Memang setahun setelah hukuman itu dikeluarkan, para ulama mengadakan protes agar Ibnu Rushd dibebaskan karena diantara kalangan ulama itu banyak yang meyakini kalau Ibnu Rushd tidak bersalah. Tekanan dari ulama yang pro Ibnu Rushd tersebut membuat Khalifah al-Mansur mengeluarkan surat pengampunan terhadap Ibnu Rushd.
Setelah dibebaskan, Ibnu Rushd kembali ke Cordoba dan berkumpul lagi dengan keluarganya dan para sahabatnya. Namun tidak lama kemudian ia wafat pada tahun 1198 Masehi dalam usia 72 tahun.
Sementara itu fitnah yang dilakukan terhadap Ibnu Rushd yang sudah terlanjur menyebar.
Dalam bukunya Mr. Peabody Apple, Madonna penyanyi pop Amerika yang terkenal itu menggambarkan Fitnah itu ibarat sebuah bantal berisi bulu angsa yang di belah di sebuah tanah lapang dalam cuaca berangin.
Oleh Madonna digambarkan, bulu yang sebelumnya terkurung dalam bantal, ketika dibelah, diterbangkan angin ke segala penjuru, tanpa bisa diatur kemana arah terbangnya. Dan ketika bulu-bulu angsa pengisi bantal tersebut sudah terlanjur diterbangkan angin, bulu-bulu itupun hinggap di mana-mana, bahkan sampai ke tempat-tempat yang tidak diketahui oleh orang yang membelah bantal itu, bulu-bulu yang sudah terbang itu tidak akan pernah bisa lagi dikumpulkan untuk kembali disatukan menjadi sebuah bantal.
Hal seperti yang digambarkan oleh Madonna dalam bukunya itulah yang terjadi pada Ibnu Rushd yang sudah terlanjur dicap sesat oleh orang-orang yang merasa diri beriman. Orang-orang 'beriman' yang sudah termakan fitnah terhadap Ibnu Rushd yang disebarkan oleh orang yang merasa diri PALING BERIMAN tidak bisa lagi satu persatu dikumpulkan untuk diberi penjelasan, tentang duduk perkara yang benar.
Akibatnya, meskipun telah diberi pengampunan, ide dan pemikiran Ibnu Rushd sama sekali tidak bisa lagi diterima oleh sebagian sangat besar kalangan Islam (sampai hari ini). Setelah Ibnu Rushd diampuni dan dibebaskan, kalangan umat Islam tetap lebih suka mempertahankan ide-ide Al-Ghazali yang menyerahkan penjelasan dari hampir semua rahasia alam kepada kebijaksanaan Allah dan mempercayai kalau semua rahasia Allah itu tidak akan bisa dipecahkan oleh Manusia dengan mengandalkan akal.
Jika di kalangan Islam pemikirannya ditolak, sebaliknya, ide dan pemikiran Ibnu Rushd justru diterima dengan luas dan malah kemudian diadopsi oleh kaum Kristen dan Yahudi. Ide-ide dan pemikiran Ibnu Rushd kemudian diteruskan bukan oleh para pemikir dan filsuf Islam, melainkan oleh para pemikir dan filsuf Kristen dan Yahudi.
Di Barat Tahafut al-Tahafut ini telah memengaruhi para filosof untuk mengkritik doktrin Gereja yang sangat dominan. Dari sinilah filsafat pencerahan itu dimulai.
Memang, kalau materi yang dibahas dalam filsafat Ibnu Rushd yang khas zaman itu yang melulu mengangkat tema-tema metafisika dan ketuhanan dinilai dengan kacamata filsafat modern, materi yang diangkat oleh Ibnu Rushd sekitar lebih dari 800 tahun yang lalu sudah sangat usang dan sudah tidak relevan lagi untuk diperdebatkan karena apa yang dibahas oleh Ibnu Rushd bahkan logika klasik Aristoteles yang begitu dipuja oleh Ibnu Rushd pun sudah banyak dibantah dan ditolak oleh filsafat modern.
Tapi dalam menilai filsafat Ibnu Rushd, materi yang dibahas 800 tahun yang lalu tidaklah terlalu menarik bagi saya, apa yang menarik dari filsafat Ibnu Rushd di mata saya adalah IDE besar dari filsafat yang dikembangkan oleh tokoh yang satu ini, mulai dari rasionalitasnya, penghargaannya yang tinggi terhadap akal dan metode kritisismenya dalam menilai sebuah permasalahan. IDE BESAR filsafat Ibnu Rushd inilah yang telah menginspirasi para filsuf modern, mulai dari Thomas Aquinas sampai pada Immanuel Kant, filsuf positivis terbesar dengan karya fenomenalnya Critique of Pure Reason yang mengubah cara pandang manusia secara keseluruhan terhadap ilmu pengetahuan.
Voltaire dan Rousseau yang merupakan pelopor era Renaissance di Perancis, gerakan yang berhasil mengubah wajah eropa sehingga mencapai puncak demilang peradaban, bahkan mengatakan kalau mereka bukan hanya sekadar terpengaruh oleh pemikiran filsafat Ibnu Rushd, tapi mereka terang-terangan mengaku mendapat inspirasi setelah membaca karya-karya Ibnu Rushd.
Jadi tidaklah berlebihan kalau kita katakan bahwa pemikiran filsafat Ibnu Rushd inilah sebenarnya menjadi dasar dari kegemilangan peradaban eropa dan barat secara keseluruhan.
Inilah yang disebut ironi, dalam Islam, pemikiran dan ide gemilang Ibnu Rushd ini tidak mendapat tempat, bahkan untuk di Indonesia, kalau kita merujuk pada ucapan Teuku Zulkhairi, pemikiran filsafat seperti ini malah diharamkan oleh MUI.
Begitulah, kalau ada orang yang menanyakan pendapat saya tentang Tahafut al-Falasifah yang merupakan karya besar Al-Ghazali, maka menurut saya buku ini adalah sebuah karya yang hebat yang dibuat oleh Ghazali untuk mempertahankan IMAN terhadap AKAL, yang dibuat oleh Al-Ghazali berdasar kegelisahannya menyaksikan banyaknya pemikiran intelektual Islam masa itu yang beberapa di antaranya sudah terlalu mendewakan akal.
Tapi sayangnya dalam usahanya ini, dalam buku Tahafut al-Falasifah, Al-Ghazali malah menyerang seluruh perilaku orang-orang yang melakukan proses berpikir menggunaan akal dalam menjelaskan segala fenomena alam. Dalam Tahafut al-Falasifah, Al-Ghazali mencela perilaku seperti itu sambil mengajak umat Islam untuk hanya menyerahkan segala permasalahan dan penjelasan terhadap segala fenomena dan rahasia alam semata pada Allah.
Dalam Tahafut al-Falasifah, Al-Ghazali membahas dua puluh masalah. Enam belas masalah metafisik dan empat masalah fisik. Dari dua puluh masalah yang dibahas oleh Al-Ghazali tersebut, tujuh belas diantaranya berisi tuduhan terhadap para filsuf yang dikatakan oleh Al-Ghazali telah melakukan bid’ah. Sementara di tiga masalah sisanya, Al-Ghazali dengan yakin mengatakan bahwa para filsuf telah keluar dari Islam, alias KAFIR.
Dalam buku berikutnya, Ihya’ ‘Ulum al-Din (yang sedikit potongannya saya kutip di atas), Al-Ghazali mengatakan bahwa hanya ilmu agamalah yang wajib dipelajari secara pribadi (fardlu ‘ain) olah para muslim. Sementara ilmu dunia,hanyalah fardlu kifayah yang kalau sudah ada orang Islam lain yang melakukannya, maka orang Islam sisanya sudah tidak lagi memiliki kewajiban untuk mempelajarinya.
Ihya’ ‘Ulum al-Din yang merupakan simbol pemikiran tasawuf, yang sesuai dengan namanya menganjurkan umat Islam untuk m
Tapi pasca tsunami semua berubah total. Aceh yang selama ini oleh pemerintah RI ditutup dengan ketat dari pengaruh luar, tiba-tiba menjadi terbuka, Aceh tiba-tiba dibanjiri berbagai ide dan gagasan. Sehingga dunia intelektual di Aceh yang sebelumnya statis tanpa perkembangan tiba-tiba berubah menjadi dinamis. Aceh tiba-tiba berubah menjadi kuali besar pertarungan gagasan.
Dulu, sebelum terjadi tsunami, di Aceh, saya akan terlihat seperti orang aneh jika berbicara tentang masalah-masalah ilmu sosial, semacam psikologi antropologi sampai filsafat. Tapi pasca tsunami, ada banyak sekali pemikiran yang berkembang, mulai yang kekiri-kirian, liberal, moderat sampai yang fundamentalis dan cenderung radikal muncul bersamaan.
Suasana ini benar-benar sangat menggairahkan, apalagi kemudian teknologi informasi yang berkembang begitu pesat dalam tahun-tahun belakangan ini membuat setiap gagasan apapun yang ada di kepala menjadi begitu mudah untuk dilemparkan ke publik untuk kemudian diperdebatkan.
Beberapa bulan yang lalu, saya pernah melemparkan sebuah gagasan di facebook untuk dijadikan bahan diskusi dan perdebatan. Saat itu saya menyinggung tentang sebuah Karya seorang tokoh besar Islam bernama Al-Ghazali yang berjudul Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Filsafat) yang dibantah oleh Ibnu Rushd, tokoh besar lain yang lahir sesudah Al-Ghazali tiada. Karya Ibnu Rushd yang merupakan bantahan terhadap karya Al-Ghazali tersebut oleh Ibnu Rushd diberi judul Tahafut Al Tahafut (Kerancuan di atas Kerancuan).
Dalam debat antara kedua tokoh ini, saya dengan tegas memposisikan diri ada di kubu Ibnu Rushd.
Masalahnya, Al-Ghazali adalah tokoh pujaan kaum puritan, sehingga pilihan saya berada di kubu Ibnu Rushd membuat kelompok ini tidak senang. Dan dari semua aliran pemikiran dan gagasan yang muncul di Aceh pasca tsunami, kaum puritan ini adalah yang paling aneh. Jika kelompok lain antusias ketika diajak beradu gagasan, maka kelompok ini tidak. Mereka ingin gagasan apapun yang berkembang di Aceh, harus ada dalam jalur yang telah mereka gariskan secara sepihak.
Begitulah, ketika gagasan ini saya lemparkan, dengan segera saya pun mendapat serangan. Di antara beberapa orang kelompok puritan yang menyerang saya ini ada satu orang yang sangat bersemangat menyerang saya, namanya Teuku Zulkhairi. Tapi sayangnya semangat Teuku Zulkhairi saat menyerang saya ini tidak didukung oleh kecerdasan, wawasan dan penguasaan data yang memadai, sehingga serangannya terhadap saya pun pada akhirnya bukan lagi pada gagasan tapi lebih mengarah kepada pribadi (Ad Hominem), yang dengan hati saya layani sampai membuatnya terkaing-kaing lari.
Pilihan saya mendukung Ibnu Rushd ditambah dengan beberapa debat lain dengan saya yang tidak pernah bisa dia menangkan, membuat Teuku Zulkhairi memaki-maki dan menyebut saya sebagai kaum pengacau keimanan.
Dalam banyak pertemuan dengannya di dunia maya, dia begitu sering mempersalahkan saya saat saya mengkritisi Tahafut al-Falasifah karangan Al-Ghazali, yang selalu saya jawab dengan mempersilahkannnya mengambil argumen dari Tahafut al-Falasifah yang nanti akan saya balas dengan mengambil argumen dari Tahafut Al Tahafut.
Tapi Teuku Zulkhairi terus mengelak dari tantangan saya dengan berbagai alasan yang dibuat-buat, sambil terus melecehkan ucapan saya yang mengatakan akan mengambil argumen dari Tahafut Al Tahafut.
"Kerancuan di atas Kerancuan" yang merupakan terjemahan tulisan Ibnu Rushd ini dalam bahasa Indonesia, terus menerus digunakan oleh Teuku Zulkhairi untuk melecehkan gagasan saya, yang berpuncak pada keluarnya fitnah yang yang dia tulis diam-diam di Kompasiana dengan judul " Membongkar Kerancuan Di Atas Kerancuan Pemikiran Win Wan Nur" yang penuh dengan berbagai fakta yang dia rekayasa untuk menyudutkan saya baca : http://filsafat.kompasiana.com/2010/03/20/membongkar-%E2%80%9Ckerancuan-di-atas-kerancuan%E2%80%9D-pemikiran-win-wan-nur-oleh-teuku-zulkhairibersambung/
Karena itu, supaya masalah ini tidak berlarut-larut karena saya terus menunggu ditanggapinya tantangan saya, kali ini saya memilih untuk langsung menjawab pertanyaan Teuku Zulkhari kepada saya tentang bagaimana sebenarnya pandangan saya pribadi terhadap Al-Ghazali dan Tahafut al-Falasifah karangan tokoh besar Islam ini.
Untuk menjawab pertanyaan Teuku Zulkhairi tentang bagaimana saya menilai Imam Ghazali.
Saya harus terlebih dahulu menjelaskan, kalau soal sosok Al-Ghazali ini, sangatlah tidak mungkin saya membuat sebuah kesimpulan tunggal, karena cara pandang dan pemikiran tokoh ini banyak berevolusi sepanjang masa hidupnya. Dalam menilai ide-ide dalam karya Al-Ghazali, penilaian yang bisa kita lakukan sangat tergantung pada kapan karyanya tersebut dikeluarkan dan sudah sejauh apa evolusi spiritual yang dia alami saat karya itu ditulis. Sebab Abu-Hamid Muhammad Al-Ghazali yang lahir pada 450 H /1058 M dan wafat pada 505/1111 M ini adalah seorang manusia multi dimensi, dia adalah seorang Asy‘ariah ketika sedang ada bersama kaum Asy‘ariah, dia adalah seorang Sufi ketika bergabung dengan kaum Sufi, dan diapun adalah seorang filsuf ketika berada bersama para filsuf.
Jadi kalau kita ingin menilai pribadi tokoh yang satu ini secara komprehensif, maka akan ada banyak sekali dimensi yang harus disatukan, dan karena alasan inilah saya sama sekali tidak tertarik untuk menjadi seorang penilai terhadap pribadi tokoh besar Islam yang satu ini.
***
Dunia Islam di masa Al-Ghazali hidup, beberapa generasi sebelum kelahirannya dan beberapa generasi sesudah kematiannya adalah dunia intelektual yang penuh dinamika. Ada banyak sekali ragam isu yang diperdebatkan antara sesama cendekia zaman itu. Entah itu ilmu kedokteran, kimia, fisika, matematika, astronomi, psikologi, tasawuf, tauhid dan segala macam ilmu yang kita kenal sekarang.
Tapi dari sekian banyak pemikiran tokoh-tokoh Islam pada masa abad pertengahan ini, terus terang minat terbesar saya lebih banyak tertuju pada bidang filsafat yang mereka kembangkan pada masa itu. Saya menaruh minat besar pada bidang ini karena dalam pandangan saya, kesalahan pengambilan pilihan pemikiran filsafat untuk dianut oleh umat Islam pada masa inilah yang menjadi kunci penyebab kemunduran peradaban Islam sampai hari ini.
Maka ketika saya berbicara tentang Al-Ghazali, fokus pembicaraan saya adalah pada PEMIKIRANNYA dalam kapasitasnya sebagai FILSUF, bukan pemikiran atau sosoknya sebagai seorang Asy'ariah (meskipun tentu saja akan tetap ada bagian Asy'ariah Ghazali yang akan saya singgung karena pandangan filsafat Al Ghazali memang tidak bisa dilepaskan dari cara pandang khas kaum Asy'ariah) atau sosoknya sebagai seorang Sufi (yang sangat diminati oleh musisi Ahmad Dhani).
Kehadiran Al-Ghazali sebagai FILSUF adalah sebagai antitesis untuk aliran Mu‘tazilah, yang merupakan aliran kritis pertama dalam Islam yang lahir kira-kira pada tahun 723 Masehi (orang-orang penganut paham ini disebut Mutakalimun).
Filsafat kaum Mu'tazillah ini banyak dipengaruhi oleh filsafat yunani kuno dari tokoh-tokoh semacam Plato dan terutama Aristoteles.
Seperti yang saya katakan di atas, Al-Ghazali adalah pengikut aliran kritis yang lain bernama Asy‘ariah yang muncul kira-kira satu generasi setelah kemunculan Mu'tazillah. Aliran ini dinamai demikian dengan mengambil nama Al Asy‘ari, tokoh yang lahir pada tahun 873 masehi.
Asy'ariyah ini adalah aliran kritis yang mencoba berada di tengah-tengah antara pandangan tradisional yang yang maunya melarang penggunaan segala hal yang berbau rasional dalam memahami agama (seperti paham Salafi dan wahabi yang marak belakangan ini) dengan pikiran rasional. Aliran Asy'ariah ini terkenal dengan konsepnya yang mengatakan bahwa akal tanpa dibantu dengan wahyu tidak akan bisa menjelaskan kebenaran yang sesungguhnya.
Nah ketika Al-Ghazali menghantam filsafat kaum Mu'tazillah, Al-Ghazali bersandar pada cara pandang kaum Asy'ariyah ini.
Sebagaimana filsafat Mu'tazillah yang banyak bersintesa dengan alam pikiran Yunani, konsep Asy'ariah yang diadopsi oleh Al Ghazali sendiripun sebenarnya tidak bisa melepaskan argumennya dari pengaruh pemikiran para filsuf Yunani dari kelompok Skeptis dan terutama dari aliran filsafat Stoisisme-nya Zeno dari Citium (334-262 SM) [dalam sejarah sekolah filsfat Stoi (baca : STOA) ada dua Zeno, selain Zeno dari Citium ada lagi Zeno dari Tarsus yang merupakan pemimpin keempat sekolah filsafat Stoi yang hidup sekitar tahun 200 SM] .
Dari aliran filsafat Stoisme ini, aliran Ays'ariyah yang dianut oleh Al-Ghazali mengadopsi epistemologi, sensasionalisme, nominalisme dan materialisme mereka.
Contoh besarnya pengaruh filsafat Stoi dalam cara pandang aliran ini adalah konsep Asy'ariah tentang kehendak Allah.
Dalam Tahafut al-Falasifa, halaman. hal 237, Al-Ghazali mengatakan "Manusia tidak (bisa dikatakan) baik atau jahat karena pembawaan, meskipun pada dasarnya manusia itu lebih cenderung menjadi baik ketimbang menjadi jahat". Ucapan Ghazali ini merujuk pada pandangan Asy'ariah yang mempercayai bahwa benar dan salah adalah urusan manusia yang tidak bisa disangkut pautkan dengan Tuhan.
Pandangan Asy'ariah ini jelas sangat dipengaruhi oleh aliran filsafat Stoisisme (Aliran filsafat yang pada masanya menentang habis ajaran aliran filsafat Epicurus yang menyatakan Hedonisme yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan utama hidup).
Apa yang dikatakan oleh Al Ghazali yang didasari oleh konsep Asy'ariah ini kurang lebih sama dengan "Cui mali nihil est nec esse potest quid huic opus est dilectu bonorum et malorum?" yang artinya kurang lebih "Pilihan apa yang bisa membantu seseorang (berbuat jahat) bagi orang yang tidak memiliki sifat jahat dan juga tidak dimiliki (oleh sifat-sifat jahat itu)" yang merupakan argumen Skeptis dari Carneades yang pernah menjadi mahasiswa di sekolah filsafat Stoi, yang belajar logika di bawah bimbingan Diogenes (Kepala sekolaf filsafat Stoi ke-lima yang hidup sekitar tahun 230-150 SM). Perkataan Carneades ini disampaikan oleh Cicero dalam De natura deorum, iii. 15. 38.
Beberapa detail epistemologi khas Stoi ini misalnya disampaikan oleh Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din Ihya’ dimana Al-Ghazali mengatakan, Jiwa saat lahir adalah putih seperti kertas dan disanalah sifat dicetak (ini yang menjadi dasar konsep tabula rasa) , kemudian Al-Ghazali juga mengatakan manusia memperoleh akan dan pengetahuan tentang baik dan benar pada umur 7 tahun (ini kemudian menjadi dasar anggapan dan cara pandang terhadap anak-anak selama ini yang belakangan oleh Jean Piaget, Erik H Eriksson dan para psikolog perkembangan lainnya telah dibuktikan salah, karena ternyata bayi sudah punya sifat dan karakter sejak masih di dalam perut)
Belakangan, oleh pengikutnya, apa yang dimaksud oleh Al-Ghazali sebagai Kehendak Allah yang menjadi rahasiaNya yang tidak bisa ditimbang dengan perhitungan-perhitungan yang berdasarkan akal itu juga termasuk hal-hal semacam jenis kelamin bayi di dalam perut, apakah hujan akan turun atau tidak di saat mendung. Konsep tauhid semacam ini yang merupakan warisan pemikiran Al-Ghazali tersebut masih sering diajarkan kepada saya oleh guru-guru ngaji saya semasa kecil di Takengen.
Pandangan Al-Ghazali yang semacam inilah yang ditentang oleh Ibnu Rushd dalam Tahafut Al Tahafut, yang salah satu diantaranya seperti contoh yang saya ambil dari ucapan Ibnu Rushd mengatakan ; Seluruh basis argumen Al-Ghazali salah, karena Al-Ghazali berasumsi bahwa kehendak Allah itu sama seperti kehendak manusia. Padahal Nafsu dan kehendak hanya bisa dimengerti oleh makhluk yang memiliki kebutuhan; Sementara untuk Zat yang Maha Sempurna yang tidak membutuhkan apa-apa, kita tidak memiliki pilihan lain selain mengatakan bahwa ketiak Dia melakukan sesuatu maka yang Dia lakukan itu adalah hal yang paling sempurna. Jadi kehendak Allah harus dipahami dengan makna yang lain dibanding kehendak manusia.
Ketika kemudian ucapan Ibnu Rushd ini saya post di status facebook saya, membuat kaum puritan radikal yang dimotori oleh Teuku Zulkhairi menuduh saya sebagai kaum pengacau keimanan dan berbagai sebutan buruk lainnya.
Jadi ketika Zulkhairi menanyakan bagaimana saya memandang Al-Ghazali, kalau dipandang dari sudut pandang ini, maka saya memandang Al-Ghazali sebagai tokoh yang berperan besar dalam mempertentangkan antara Iman dan Akal. Dan berkat Al-Ghazali, dalam pertarungan ini Iman lah yang menang. Sehingga merusak semua semangat eksplorasi dan penggalian ilmu pengetahuan yang pada masa itu begitu menggairahkan.
Meneruskan apa yang sudah dilakukan oleh gurunya, Ibnu Thufayl dalam novel eksperimental pemikiran Hayy Ibn Yaqzan (dalam novel ini Ibnu Thufayl tampaknya sepakat dengan konsep Ghazali soal tabula rasa), Ibnu Rushd yang hadir belakangan mencoba untuk memperbaiki apa yang telah dirusak oleh Al-Ghazali ini, tapi usahanya tidak berhasil.
Oleh para pengikut Al-Ghazali, Ibnu Rushd malah dicap sesat, dimaki dituduh dan difitnah dengan berbagai dakwaan. Oleh orang-orang ini Ibnu Rushd dituduh sebagai pengacau keimanan dengan menyebarkan ilmu-ilmu Yunani. Rakyat Cordoba yang termakan fitnah kelompok ini mengejek dan menghina Ibnu Rushd dengan berbagai kalimat buruk dan tuduhan yang tidak berdasar.
Pernah satu kali, ketika Ibnu Rushd melaksanakan shalat Ashar bersama sahabatnya, dia diejek dan diusir dari masjid Cordoba. Masyarakat membakar karya-karyanya. Dan pada puncaknya, Khalifah al-Mansur yang menjadi penguasa di Cordoba waktu itu, sepakat dengan tuduhan masyarakat ini dan kemudian menghukum Ibnu Rushd. Sebagai hukuman atas "kesalahannya" Khalifah al-Mansur memerintahkan Ibnu Rushd untuk dibuang ke perkampungan Yahudi "Lucena".
Memang setahun setelah hukuman itu dikeluarkan, para ulama mengadakan protes agar Ibnu Rushd dibebaskan karena diantara kalangan ulama itu banyak yang meyakini kalau Ibnu Rushd tidak bersalah. Tekanan dari ulama yang pro Ibnu Rushd tersebut membuat Khalifah al-Mansur mengeluarkan surat pengampunan terhadap Ibnu Rushd.
Setelah dibebaskan, Ibnu Rushd kembali ke Cordoba dan berkumpul lagi dengan keluarganya dan para sahabatnya. Namun tidak lama kemudian ia wafat pada tahun 1198 Masehi dalam usia 72 tahun.
Sementara itu fitnah yang dilakukan terhadap Ibnu Rushd yang sudah terlanjur menyebar.
Dalam bukunya Mr. Peabody Apple, Madonna penyanyi pop Amerika yang terkenal itu menggambarkan Fitnah itu ibarat sebuah bantal berisi bulu angsa yang di belah di sebuah tanah lapang dalam cuaca berangin.
Oleh Madonna digambarkan, bulu yang sebelumnya terkurung dalam bantal, ketika dibelah, diterbangkan angin ke segala penjuru, tanpa bisa diatur kemana arah terbangnya. Dan ketika bulu-bulu angsa pengisi bantal tersebut sudah terlanjur diterbangkan angin, bulu-bulu itupun hinggap di mana-mana, bahkan sampai ke tempat-tempat yang tidak diketahui oleh orang yang membelah bantal itu, bulu-bulu yang sudah terbang itu tidak akan pernah bisa lagi dikumpulkan untuk kembali disatukan menjadi sebuah bantal.
Hal seperti yang digambarkan oleh Madonna dalam bukunya itulah yang terjadi pada Ibnu Rushd yang sudah terlanjur dicap sesat oleh orang-orang yang merasa diri beriman. Orang-orang 'beriman' yang sudah termakan fitnah terhadap Ibnu Rushd yang disebarkan oleh orang yang merasa diri PALING BERIMAN tidak bisa lagi satu persatu dikumpulkan untuk diberi penjelasan, tentang duduk perkara yang benar.
Akibatnya, meskipun telah diberi pengampunan, ide dan pemikiran Ibnu Rushd sama sekali tidak bisa lagi diterima oleh sebagian sangat besar kalangan Islam (sampai hari ini). Setelah Ibnu Rushd diampuni dan dibebaskan, kalangan umat Islam tetap lebih suka mempertahankan ide-ide Al-Ghazali yang menyerahkan penjelasan dari hampir semua rahasia alam kepada kebijaksanaan Allah dan mempercayai kalau semua rahasia Allah itu tidak akan bisa dipecahkan oleh Manusia dengan mengandalkan akal.
Jika di kalangan Islam pemikirannya ditolak, sebaliknya, ide dan pemikiran Ibnu Rushd justru diterima dengan luas dan malah kemudian diadopsi oleh kaum Kristen dan Yahudi. Ide-ide dan pemikiran Ibnu Rushd kemudian diteruskan bukan oleh para pemikir dan filsuf Islam, melainkan oleh para pemikir dan filsuf Kristen dan Yahudi.
Di Barat Tahafut al-Tahafut ini telah memengaruhi para filosof untuk mengkritik doktrin Gereja yang sangat dominan. Dari sinilah filsafat pencerahan itu dimulai.
Memang, kalau materi yang dibahas dalam filsafat Ibnu Rushd yang khas zaman itu yang melulu mengangkat tema-tema metafisika dan ketuhanan dinilai dengan kacamata filsafat modern, materi yang diangkat oleh Ibnu Rushd sekitar lebih dari 800 tahun yang lalu sudah sangat usang dan sudah tidak relevan lagi untuk diperdebatkan karena apa yang dibahas oleh Ibnu Rushd bahkan logika klasik Aristoteles yang begitu dipuja oleh Ibnu Rushd pun sudah banyak dibantah dan ditolak oleh filsafat modern.
Tapi dalam menilai filsafat Ibnu Rushd, materi yang dibahas 800 tahun yang lalu tidaklah terlalu menarik bagi saya, apa yang menarik dari filsafat Ibnu Rushd di mata saya adalah IDE besar dari filsafat yang dikembangkan oleh tokoh yang satu ini, mulai dari rasionalitasnya, penghargaannya yang tinggi terhadap akal dan metode kritisismenya dalam menilai sebuah permasalahan. IDE BESAR filsafat Ibnu Rushd inilah yang telah menginspirasi para filsuf modern, mulai dari Thomas Aquinas sampai pada Immanuel Kant, filsuf positivis terbesar dengan karya fenomenalnya Critique of Pure Reason yang mengubah cara pandang manusia secara keseluruhan terhadap ilmu pengetahuan.
Voltaire dan Rousseau yang merupakan pelopor era Renaissance di Perancis, gerakan yang berhasil mengubah wajah eropa sehingga mencapai puncak demilang peradaban, bahkan mengatakan kalau mereka bukan hanya sekadar terpengaruh oleh pemikiran filsafat Ibnu Rushd, tapi mereka terang-terangan mengaku mendapat inspirasi setelah membaca karya-karya Ibnu Rushd.
Jadi tidaklah berlebihan kalau kita katakan bahwa pemikiran filsafat Ibnu Rushd inilah sebenarnya menjadi dasar dari kegemilangan peradaban eropa dan barat secara keseluruhan.
Inilah yang disebut ironi, dalam Islam, pemikiran dan ide gemilang Ibnu Rushd ini tidak mendapat tempat, bahkan untuk di Indonesia, kalau kita merujuk pada ucapan Teuku Zulkhairi, pemikiran filsafat seperti ini malah diharamkan oleh MUI.
Begitulah, kalau ada orang yang menanyakan pendapat saya tentang Tahafut al-Falasifah yang merupakan karya besar Al-Ghazali, maka menurut saya buku ini adalah sebuah karya yang hebat yang dibuat oleh Ghazali untuk mempertahankan IMAN terhadap AKAL, yang dibuat oleh Al-Ghazali berdasar kegelisahannya menyaksikan banyaknya pemikiran intelektual Islam masa itu yang beberapa di antaranya sudah terlalu mendewakan akal.
Tapi sayangnya dalam usahanya ini, dalam buku Tahafut al-Falasifah, Al-Ghazali malah menyerang seluruh perilaku orang-orang yang melakukan proses berpikir menggunaan akal dalam menjelaskan segala fenomena alam. Dalam Tahafut al-Falasifah, Al-Ghazali mencela perilaku seperti itu sambil mengajak umat Islam untuk hanya menyerahkan segala permasalahan dan penjelasan terhadap segala fenomena dan rahasia alam semata pada Allah.
Dalam Tahafut al-Falasifah, Al-Ghazali membahas dua puluh masalah. Enam belas masalah metafisik dan empat masalah fisik. Dari dua puluh masalah yang dibahas oleh Al-Ghazali tersebut, tujuh belas diantaranya berisi tuduhan terhadap para filsuf yang dikatakan oleh Al-Ghazali telah melakukan bid’ah. Sementara di tiga masalah sisanya, Al-Ghazali dengan yakin mengatakan bahwa para filsuf telah keluar dari Islam, alias KAFIR.
Dalam buku berikutnya, Ihya’ ‘Ulum al-Din (yang sedikit potongannya saya kutip di atas), Al-Ghazali mengatakan bahwa hanya ilmu agamalah yang wajib dipelajari secara pribadi (fardlu ‘ain) olah para muslim. Sementara ilmu dunia,hanyalah fardlu kifayah yang kalau sudah ada orang Islam lain yang melakukannya, maka orang Islam sisanya sudah tidak lagi memiliki kewajiban untuk mempelajarinya.
Ihya’ ‘Ulum al-Din yang merupakan simbol pemikiran tasawuf, yang sesuai dengan namanya menganjurkan umat Islam untuk m
Buku “Kerancuan Para Filsuf” al-Ghazali
Dlm karyanya
“Kerancuan Para Filsuf” (تَهَافُتُ الْفَلاَسِفَةْ), al-Ghozali (1058-1111M)
habis²an mempersoalkan & membantah ± 20 tema pemikiran para filsuf (terutama
Ibnu Sina & al-Farabi). 17 tema dia vonis zindiq. 3 tema dia vonis bisa
menjerumuskan pd kekafiran, yaitu: Masalah keazalian alam (قَدْم الْعَالَمْ);
masalah Tuhan tdk mengetahui hal² yg partikular, hny mengetahui hal² yg
universal (الله يَعْلَمُ الْكُلِّيَاتْ وَﻻَيَعْلَمُ الْجُزْئِيَاتْ); &
masalah ingkar terhadap kebangkitan jasmani di akhirat kelak (إِنْكَارهمْ حَشْر
اْﻻَجْسَادْ فِي اﻻَخِرة). Karya al-Ghozali ini sukses menebar ketakutan
mayoritas kaum muslimin untuk mempelajari filsafat, mungkin sampai sekarang.
Pledoi dr Ibnu Rusyd (1128-1198) yg membantah karya al-Ghozali dg Kerancuan
Kitab Kerancuan (تَهَافُتُ التَّهَافُتْ), saya kira datang terlambat 100
tahunan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar