Senin, 11 Januari 2016
pemikiran Socrates
Riwayat Hidup Socrates
Socrates lahir dari seorang bidan yang bernama Phainarete pada tahun 470 SM, dimana pada saat itu terdapat banyak orang-orang jenius yang tinggal di Athena. Ia hidup sezaman dengan Aeschylus yang merupakan penulis naskah drama, dan Pericles sebagai tokoh yang mengantarkan Yunani pada era demokrasi. Pada masa kehidupannya, Athena memiliki pengaruh yang cukup besar di laut Aegean.[3]
Selama hidupnya, Socrates pernah menjadi tentara Athena yang cukup dikagumi keberaniannya. Ia juga menikah dengan Xantippe dan memiliki tiga anak laki-laki. Pada tahun 406-405 SM Socrates menjadi anggota panitia pengadilan dan dua tahun kemudian ia menolak ajakan pemerintah untuk membunuh orang yang bernama Leon agar dapat disita hartanya. Peristiwa ini menjadi salah satu sebab kematian Socrates pada saat itu.[4]
Pada tahun 399 SM, Socrates dipanggil oleh pengadilan dengan tuduhan menyebarkan pengaruh yang kurang baik pada generasi muda. Selain itu, ia juga dituduh tidak percaya pada dewa-dewa Yunani yang merupakan pelanggaran dalam kepercayaan masyarakat pada saat itu. Dari hasil keputusan jaksa dan hakim, Socrates dijatuhi hukuman mati dengan meminum racun.[5]
Pemikiran dan Metode Filsafat
Pemikiran para filsuf sebelum era Socrates lebih diarahkan pada masalah kosmologi atau ilmu tentang alam semesta (perbintangan), sedangkan Socrates lebih memfokuskan diri pada masalah kemanusiaan.[6] Hal ini berdasarkan sikapnya yang berlawanan dari sofis pada saat itu yang memungut biaya ketika mengajarkan pengetahuan kepada manusia. Dari pergaulannya dengan masyarakat setempat, ia pun menaruh perhatian khusus pada manusia.[7]
Socrates memahami kebenaran ada yang bersifat obyektif dan ada yang bersifat relatif. Kebenaran obyektif adalah kebenaran yang memang sudah ada yang tidak bergantung pada siapa yang berpendapat.[8] Ia berusaha untuk mengungkapkan sifat semu yang terdapat dalam pengetahuan agar diketahui sumber pengetahuan yang sebenarnya.[9]
Dengan menggunakan metode dialektika, Socrates berusaha mengajarkan orang lain untuk mencari kebenaran. Setiap hari ia berjalan berkeliling kota untuk mempelajari kebiasaan manusia, ia berbicara dengan berbagai macam orang, bertanya tentang pekerjaan dan keseharian mereka sesuai dengan pengetahuan yang mereka miliki. Dari tanya-jawab ini, Socrates membuka pikiran masyarakat tentang pengetahuan yang mereka miliki serta menambah pengetahuan yang ia miliki.[10]
Seni melahirkan pengetahuan ini disebut dengan maieuteke tekhne atau seni kebidanan. Menurut Socrates, setiap orang memiliki pemahaman sejati yang terdapat dalam jiwanya, akan tetapi pemahaman tersebut telah tertutupi oleh pengetahuan semu yang berasal dari doktrin yang berkembang pada saat itu. Sehingga dengan menggunakan metode dialektika tersebut, ia berusaha melahirkan kembali pemahaman sejati serta membongkar pengetahuan semu yang terdapat dalam pikiran seseorang.[11]
Keadaan masyarakat Yunani pada saat itu sangat dipengaruhi paham Sofis yang mengatakan bahwa tidak ada kebenaran yang abadi, kebenaran bersifat relatif dan bisa dikaji ulang. Hal ini yang kemudian dikritik oleh Socrates, ia berpendapat bahwa ada kebenaran obyektif yang memang sudah ada dan bersifat universal. Untuk itu, ia mengajak orang lain untuk berdiskusi dengan menggunakan metode dialektikanya. Dalam pencarian kebenaran ini, ia tidak memikirkannya sendiri, melainkan selalu mencari orang lain yang dianggapnya memiliki pengetahuan yang tidak ia miliki.[12]
Metode dialektika ini dilakukan dengan tanya jawab. Diawali dengan pertanyaan yang diajukan oleh Socrates terhadap lawan bicaranya yang kemudian menjawab dengan pengetahuan yang dimiliki. Hipotesa dari jawaban tersebut dipertanyakan lagi oleh Socrates hingga lawan bicaranya terjebak dengan jawabannya sendiri dan mulai memikirkan kembali tentang kebenaran yang terdapat dalam pengetahuan yang ia miliki. Diskusi ini terus berlanjut dengan menguji setiap hipotesa yang terdapat dalam jawaban yang kemudian ditarik satu kesimpulan umum tentang kebenaran pengetahuan tersebut. Metode ini kemudian dikenal dengan dikenal dengan sebutan metode Induksi.
Konsep dialektika dengan menguji kebenaran pengetahuan yang dimiliki seseorang milik Socrates ini kemudian dipakai oleh filsuf abad pertengahan. Seperti Rene Descartes yang mengenalkan metode “keraguan” dalam pengetahuan. Dalam bukunya Meditations on First Philosophy Descartes mempertanyakan kembali semua pengetahuan yang ia miliki. Ia bertanya kepada dirinya sendiri dan mengumpulkan beberapa hipotesa yang kemudian memunculkan sebuah kebenaran yang universal. Pemikiran Descartes ini kemudian dikembangkan oleh generasi selanjutnya dan disebut dengan aliran Rasionalisme.[13]
Konsep dialektika ini kemudian dikembangkan lagi oleh filsuf pasca Descartes seperti Francois Bacon dan Immanuel Kant. Mereka berusaha menguji kembali paham-paham serta kebenaran-kebenaran dari teori pendahulunya hingga memunculkan beberapa aliran filsafat dan metode menguji kebenaran ilmiah. Hal ini kemudian menjadi langkah awal berkembangnya peradaban Barat yang terus dikembangkan hingga saat ini.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar