Senin, 11 Januari 2016
machica mochtar
Anak Biologis
Machica Mochtar telah mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Anak Biologis dan MK telah mengabulkannya, sehingga Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan No. 1/1974 diubah dan menjadi "anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya".[1] Keberatan datang dari Margono yang merupakan adik kandung Moerdiono dan telah menunjuk OC Kaligis sebagai pengacaranya. Machica Mochtar tidak gentar, karena Margono bukan ahli waris langsung dan dia senang istri sah dan anak-anak kandung Moerdiono menyambut baik keputusan MK tersebut.[2]
Dalam amar putusannya, Mahkamah menyatakan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan dengan laki-laki yang dapat dibuktikan ilmu pengetahuan dan teknologi dan atau alat bukti lain ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.
“Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga pasal itu harus dibaca, ‘anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya’,” kata Ketua Majelis MK, Moh Mahfud MD saat membacakan putusan, Jum’at (17/2).
Dalam pertimbangannya, Mahkamah berpendapat tidak tepat dan tidak adil ketika hukum menetapkan bahwa anak yang lahir karena hubungan seksual di luar perkawinan (nikah sirih atau perzinahan, red) hanya memiliki hubungan sebagai ibunya. “Tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan laki-laki yang menghamili dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak,” kata Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi.
Terlebih, ketidakadilan itu lantaran hukum meniadakan hak-hak anak terhadap bapaknya (biologis). Padahal, berdasarkan perkembangan teknologi yang ada memungkinkan dapat dibuktikan bahwa seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki tertentu (tes DNA). “Peristiwa kelahiran anak akibat hubungan seksual itu adalah hubungan hukum mengandung hak dan kewajiban timbal balik antara anak, ibu, dan bapak.”
Menurut Mahkamah hubungan anak dengan laki-laki sebagai bapaknya tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan bapaknya. Terlepas dari soal prosedur/administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapatkan perlindungan hukum. Jika tidak, yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan itu.
“Anak itu tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayahnya sering mendapatkan perlakuan tidak adil dan stigma di masyarakat. Karena itu, hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status anak yang dilahirkan dan hak-haknya, meski keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan.”
Sementara Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati memiliki alasan berbeda (concurring opinion). Maria mengatakan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan menutup kemungkinan bagi anak untuk memiliki hubungan keperdataan dengan ayah kandungnya. Hal ini resiko dari sebuah perkawinan yang tidak dicatatkan. Meski demikian tidak pada tempatnya jika anak harus ikut menanggung kerugian yang ditimbulkan oleh tindakan kedua orang tuanya itu.
Menurutnya, jika hal itu dianggap sebagai sebuah sanksi, hukum negara maupun hukum agama (Islam) tidak mengenal konsep anak harus ikut menanggung sanksi akibat tindakan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya, atau yang dikenal dengan istilah “dosa turunan.” “Potensi kerugian akibat perkawinan yang tidak sesuai UU Perkawinan merupakan resiko bagi laki-laki dan wanita yang melakukan perkawinan, tetapi bukan risiko yang harus ditanggung oleh anak yang dilahirkan dalam perkawinan itu.”
“Dengan demikian menurut saya, pemenuhan hak-hak anak yang terlahir, terlepas dari sah atau tidaknya perkawinan itu menurut hukum negara, tetap menjadi kewajiban kedua orang tua kandung atau kedua orang tua biologisnya,” dalihnya.
Machica mengapresiasi putusa
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar